zmedia

Tren "Quiet Quitting": Apakah Anda Hanya Berpura-pura Bekerja Keras?


Meskipun kedengarannya sederhana, "Quiet Quitting" memicu perdebatan panas. Pihak manajemen menganggapnya sebagai bentuk kurangnya dedikasi dan produktivitas, bahkan menudingnya sebagai penyebab menurunnya moral kerja dan produktivitas perusahaan. Mereka menekankan pentingnya komitmen dan kerja keras ekstra untuk mencapai kesuksesan bersama.

Di sisi lain, para pendukung "Quiet Quitting" berargumen bahwa ini adalah bentuk perlawanan terhadap budaya kerja toksik yang menuntut karyawan selalu "on" dan mengabdikan seluruh hidup mereka untuk pekerjaan. Mereka merasa terbebani oleh tuntutan yang tidak masuk akal dan kurangnya keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi. Bagi mereka, "Quiet Quitting" adalah cara untuk menjaga kesehatan mental dan fisik, serta menetapkan batas yang sehat dalam kehidupan profesional.

Namun, penting untuk membedakan antara "Quiet Quitting" dan "performing to expectations." "Quiet Quitting" menekankan pada penolakan untuk melakukan pekerjaan di luar deskripsi jabatan, sedangkan "performing to expectations" berarti memenuhi kewajiban kerja dengan baik dan efisien, sesuai dengan kesepakatan yang sudah disepakati. Perbedaan ini penting untuk dimaklumi, karena "performing to expectations" tetap menjadi kunci kesuksesan dalam karier.

Tren "Quiet Quitting" ini mencerminkan kebutuhan mendesak akan perubahan budaya kerja yang lebih sehat dan berkelanjutan. Perusahaan perlu mempertimbangkan kesejahteraan karyawannya dan menciptakan lingkungan kerja yang mendukung keseimbangan hidup dan mendukung aspirasi karyawan, bukan sekadar mengejar produktivitas tanpa batas. Perdebatan seputar "Quiet Quitting" seharusnya menjadi momentum bagi perusahaan untuk mengevaluasi strategi manajemen dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih berkelanjutan dan menghormati batas-batas pribadi karyawan.

Posting Komentar untuk "Tren "Quiet Quitting": Apakah Anda Hanya Berpura-pura Bekerja Keras?"