zmedia

Tren "Quiet Quitting": Lebih dari Sekadar Istilah, Ini Tentang Keseimbangan Kerja-Hidup


Awalnya, tren ini muncul sebagai bentuk protes terhadap budaya kerja yang terlalu menuntut dan eksploitatif, di mana karyawan seringkali merasa terbebani dengan pekerjaan tambahan tanpa kompensasi yang memadai. Jam kerja yang panjang, tuntutan yang tidak realistis, dan kurangnya penghargaan atas kerja keras menjadi pemicu utama. Karyawan merasa kelelahan dan terbakar habis, sehingga memilih untuk membatasi diri hanya pada tugas-tugas inti.

Namun, "Quiet Quitting" juga menuai kritik. Beberapa pihak berpendapat bahwa hal ini menunjukkan kurangnya dedikasi dan profesionalisme. Mereka berargumen bahwa kemajuan karir bergantung pada kemauan untuk melakukan *extra mile* dan menunjukkan inisiatif. Persepsi ini pun menimbulkan ketegangan antara karyawan dan atasan.

Pandangan yang lebih seimbang melihat "Quiet Quitting" sebagai cerminan dari kebutuhan akan batasan yang jelas dalam dunia kerja. Alih-alih memandangnya sebagai bentuk pembangkangan, hal ini bisa diinterpretasikan sebagai upaya karyawan untuk menetapkan batas-batas yang sehat antara kehidupan profesional dan pribadi mereka. Ini merupakan sinyal bagi perusahaan untuk mengevaluasi budaya kerja mereka dan memastikan bahwa karyawan mendapatkan kompensasi dan penghargaan yang layak atas kerja keras mereka. Lebih dari sekadar tren, "Quiet Quitting" mendorong diskusi penting tentang kesejahteraan karyawan dan pentingnya menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan berkelanjutan. Pertanyaannya sekarang bukan tentang "Quiet Quitting" itu sendiri, tetapi bagaimana perusahaan dapat meresponnya secara konstruktif untuk menciptakan tempat kerja yang lebih seimbang dan produktif.

Posting Komentar untuk "Tren "Quiet Quitting": Lebih dari Sekadar Istilah, Ini Tentang Keseimbangan Kerja-Hidup"